Akun Instagram @didilionrich.
Poros Demokrasi | Akun Instagram @didilionrich ramai diperbincangkan usai mengkritik pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, yang menyebut Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia sering “diframing jahat” oleh publik.
Unggahan tersebut menuai lebih dari 2.700 suka dan ratusan komentar dari warganet yang mayoritas bernada kesal terhadap pernyataan Sarmuji.
Dalam unggahannya, @didilionrich menulis bahwa tudingan “framing jahat” terhadap Bahlil justru tidak relevan, sebab kebijakan yang diambil selama menjabat Menteri Investasi dianggap memang merugikan masyarakat.
“Kata si Sarmuji Sekjen Golkar, si Bahlil ini sering diframing jahat padahal dia peduli pada rakyat. Kenapa harus disebut framing kalau aslinya emang jahat? Itu bukan framing, tapi fakta,” tulis akun tersebut, dikutip 17 Oktober 2025.
@didilionrich juga menyinggung kebijakan pencampuran etanol ke BBM yang dinilai memberatkan masyarakat kecil.
“Motor keluaran 2015 ke bawah cuma sanggup 5 persen etanol, sedangkan pemerintah mau maksa 10 persen.
Artinya rakyat kecil disuruh beli motor baru. Duitnya dari mana? Janji mau buka 19 juta lapangan kerja juga nggak jelas,” lanjutnya.
Unggahan itu makin tajam ketika akun tersebut menyoroti kebijakan impor etanol yang disebut-sebut bertolak belakang dengan alasan “ramah lingkungan”.
“Kirain mau pakai etanol produksi dalam negeri, ternyata ujung-ujungnya impor juga. Duit siapa yang dipakai impor? Duit rakyat semua,” tulisnya.
Hingga berita ini diturunkan, Sarmuji maupun Bahlil Lahadalia belum memberikan tanggapan atas kritik tersebut, masih berupaya konfirmasi kepada pihak-pihak terkait.
Namun, di kolom komentar unggahan @didilionrich, mayoritas netizen menganggap pernyataan Sekjen Golkar itu justru menunjukkan ketidaksensitifan terhadap kondisi rakyat.
“Rakyat yang dizalimi malah dibilang dzalim,” tulis salah satu pengguna. Kalau kebijakan bikin susah orang kecil, itu bukan framing, itu realita,” tambah lainnya.
Gelombang kritik di media sosial menunjukkan meningkatnya kejenuhan publik terhadap narasi pejabat yang merasa diserang, sementara kebijakan mereka sendiri dianggap menyulitkan masyarakat.



