Film Nia Digugat: Ketika Hukum dan Drama Berebut Panggung, dan Fakta Nyata Jadi Properti Cerita

Poros Demokrasi Jakarta — Di negeri yang gemar menayangkan air mata di layar lebar, kini giliran pengacara Elvy Madreani yang menulis naskah baru — bukan untuk film, tapi untuk gugatan hukum.

Pengacara wanita ini menuntut Studio berinisial CX agar menghentikan seluruh promosi dan penayangan film “Nia”, yang diangkat dari kisah nyata pembunuhan tragis NKS, penjual gorengan asal Padang Pariaman.

Dalam surat resmi bernomor 06/BS-DJ/XI/2025, tertanggal 11 November 2025, Elvy — kuasa hukum ID, terpidana mati dalam kasus tersebut — menyebut bahwa film garapan PT.SP dan PT 786 P telah “melanggar aturan tayang” dan melakukan penyesatan hukum (misrepresentation) serta itikad tidak baik (bad faith).

“Surat pemberitahuan produksi film dan izin Lembaga Sensor Film hanyalah urusan administratif, bukan izin hukum untuk memakai kisah nyata milik orang lain,” tegas Elvy, seperti dilansir dari SumbarKita.id.

Dalam gaya khas advokat yang separuh legal, separuh literer, Elvy menilai produser dan Cinema XXI turut serta dalam perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP, karena tetap menayangkan karya yang “bersumber dari pelanggaran hak moral dan hak pribadi seseorang.”

Ia mendesak XXI untuk:

  1. Menghentikan seluruh promosi dan penayangan film Nia;
  2. Menarik semua materi promosi dari media sosial dan media massa;
  3. Menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf resmi di tiga media nasional;
  4. Memberikan kompensasi kepada keluarga kliennya.

Dan bila tuntutan itu diabaikan, Elvy sudah menyiapkan dua babak lanjutan: gugatan perdata di PN Pariaman dan laporan pidana ke Polda Sumatera Barat.
Filmnya disebut “drama kriminal inspiratif,” tapi gugatan ini tampaknya siap diputar dengan judul baru: Nia: The Legal Cut.

Ketika Realitas dan Reenactment Saling Menuduh

Film Nia yang disutradarai Aditya Gumay dijadwalkan tayang pada 4 Desember 2025, dibintangi oleh Syakira Humaira, Helsi Herlinda, hingga Neno Warisman.
Film ini diklaim sebagai “seruan moral terhadap kekerasan perempuan,” namun bagi pihak terdakwa, kisah ini bukan sekadar moral — tapi modal yang dianggap diambil tanpa izin.

Pertanyaannya pun muncul: siapa sebenarnya pemilik kisah tragis? Apakah keluarga korban, pelaku, atau masyarakat yang sudah terlanjur menonton dan menangis di platform digital?
Dalam dunia hukum, nyawa punya nilai sakral. Tapi dalam dunia perfilman, nyawa bisa dijadikan plot twist — selama lulus sensor dan dapat slot tayang di akhir pekan.

Satir di Tengah Seriusnya Gugatan

Yang menarik, Elvy tak sekadar menggugat, ia juga mengajarkan: bahwa di negeri ini, hukum dan hiburan kerap saling bertabrakan di tikungan yang sama — kadang memakai pasal, kadang memakai dialog dramatis.
Satu pihak berteriak “hak moral!”, pihak lain menjawab “izin sensor sudah keluar, Bu.”

Sementara di ruang publik, sebagian penonton sibuk menanti trailer-nya, sebagian lagi menunggu sidang perdananya.
Dan di antara keduanya, yang paling diam mungkin hanya keluarga korban — mereka yang tak meminta kisahnya dijual, tapi kini harus menonton tragedi mereka dalam format 4DX.

Ketika tragedi manusia diputar ulang di bioskop, dan hukum berubah jadi naskah baru untuk diperankan di pengadilan, kita patut bertanya: apakah negeri ini masih tahu batas antara memperingati dan memperjualbelikan duka?

Barangkali, di masa depan, setiap kisah nyata yang memilukan akan diberi dua versi: satu untuk laporan polisi, satu lagi untuk trailer film. (Ncank)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *