Poros Demokrasi Jakarta — Negeri ini mencintai gurunya seperti mencintai hujan: selalu ditunggu, tapi begitu datang, yang disiapkan hanyalah payung.
Menjelang Hari Guru, Kementerian Agama membawa kabar yang terdengar manis di telinga: sebanyak 101.786 guru madrasah dan guru pendidikan agama resmi lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan Angkatan 3 Tahun 2025.
Di atas kertas, ini kabar gembira. Di ruang kelas, para guru mungkin sedang tersenyum setengah, antara syukur dan lelah yang belum sempat reda.
“Guru adalah pahlawan masa kini,” ujar Menteri Agama Nasaruddin Umar, dalam nada yang terdengar seperti puisi yang sudah sering dibacakan ulang setiap November.
“Mereka berjuang di ruang kelas, bukan di medan perang.”
Betul. Tapi bedanya, di ruang kelas, pelurunya bukan timah, melainkan tugas, absen, dan administrasi yang tak pernah selesai.
Guru yang lulus akan menerima sertifikat dan Nomor Registrasi Guru (NRG)—dua kertas suci yang membuka pintu Tunjangan Profesi Guru (TPG). Bagi guru ASN, tunjangannya setara satu kali gaji pokok. Bagi Non-ASN, tunjangannya naik jadi Rp2 juta per bulan—angka yang, meski tak cukup untuk beli rumah, setidaknya cukup untuk menambal bocor genteng idealisme.
“Kenaikan tunjangan ini bukti perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru,” kata Menag.
Kalimat itu selalu indah. Sama seperti janji-janji masa kecil bahwa nilai bagus akan membawa masa depan cerah—padahal listriknya masih sering padam.
Sertifikat dan Kesunyian Papan Tulis
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Amien Suyitno menegaskan, kelulusan ini hasil sinergi banyak pihak. Kemenag, LPTK, pemerintah daerah, bahkan Baznas.
Begitu banyak lembaga terlibat, seolah meluluskan satu guru lebih rumit daripada meluncurkan roket ke bulan.
“Meskipun ada efisiensi anggaran, program tetap jalan,” kata Amien.
Sebuah prestasi, memang. Di tengah efisiensi yang sering berujung pada kekurangan spidol di ruang guru, PPG masih bisa berjalan—itu hampir mukjizat.
Kemenag juga menjanjikan peningkatan mutu berkelanjutan. Bahwa sertifikat bukan sekadar formalitas, tapi tanda bahwa guru benar-benar tumbuh.
Namun, di banyak sekolah, guru masih berjuang antara mencetak karakter dan mencetak absen harian—dua hal yang sering kali tak saling mendukung.
Negeri yang Gemar Mengutip, Tapi Enggan Menghargai
Direktur Pendidikan Agama Islam M. Munir menutup dengan kalimat indah:
“Kelulusan ini bukan sekadar data statistik, tapi simbol bahwa negara hadir untuk memuliakan profesi guru agama.”
Ah, betapa indah bunyinya. Negara hadir. Walau kadang, hadirnya hanya di baliho dan pidato.
Di desa-desa, guru masih berjalan kaki ke madrasah, mengajar anak-anak yang datang tanpa buku, tapi membawa rasa ingin tahu yang tak kalah besar dari lapar.
Di kota-kota, guru honorer masih mencatat nilai di ponsel sambil menghitung hari: kapan tunjangan cair?
Namun mereka tetap berdiri di depan kelas. Dengan senyum yang entah dari mana datangnya, mengajar dengan sisa sabar dan keyakinan bahwa ilmu—meski tak selalu dibayar layak—tetap harus ditanam.
Kemenag benar: guru adalah pahlawan masa kini. Tapi pahlawan juga butuh makan, bukan hanya ucapan. Maka biarlah sertifikat itu menjadi doa—semoga suatu hari nanti, menjadi guru di negeri ini tak lagi dianggap sebagai panggilan jiwa semata, tapi juga profesi yang layak dimuliakan, bukan hanya diseremonikan. (Ncank)



