Ketua Umum Bahlil Lahadalia saat Mendampinggi Presiden Ke 7 Jokowi.
Poros Demokrasi Jakarta | Gonjang-ganjing di tubuh Partai Golkar makin sulit dibendung. Isu pemecatan Bahlil Lahadalia dari kursi Ketua Umum DPP Golkar kini mencuat ke permukaan, memicu kegaduhan di kalangan elite partai berlambang pohon beringin itu.
Informasi yang dihimpun Poros Demokrasi mengungkapkan, gelombang penolakan terhadap Bahlil datang dari berbagai lapisan internal partai. Banyak kader, baik di tingkat pusat maupun daerah, dikabarkan sudah meninggalkan barisan pendukungnya.
Mereka menilai arah kebijakan yang dijalankan Bahlil selama ini tidak lagi berpihak pada rakyat dan justru menjauhkan Golkar dari basis konstituennya.
“Bahlil sudah terlalu berlebihan. Banyak kader kecewa karena arah kebijakan partai di bawahnya justru merugikan rakyat,” ujar seorang kader senior Golkar yang meminta identitasnya dirahasiakan, Rabu (22/10/2025).
Beberapa kebijakan yang menjadi pemicu kemarahan publik antara lain persoalan gas LPG 3 kg, kontroversi tambang di Raja Ampat, serta program bensin etanol yang dinilai tidak realistis dan membebani masyarakat. Rentetan keputusan inilah yang disebut mempercepat keretakan dukungan di internal partai.
Di media sosial, kritik terhadap Bahlil makin deras. Gelombang komentar tajam dan sindiran keras terus bermunculan, menggambarkan betapa kecewanya publik terhadap kepemimpinannya. Banyak warganet menilai, jika Bahlil tetap dipertahankan, Golkar terancam kehilangan identitas politiknya.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh hasil survei Lembaga Celios, yang menempatkan Bahlil sebagai menteri dengan tingkat kepuasan publik paling rendah.
“Kalau reshuffle dilakukan, yang pertama harus keluar itu Bahlil,” tegas peneliti Celios, Media Wahyudi Askar, dalam keterangannya.
Sumber internal Golkar menyebut, dukungan terhadap Bahlil di lingkaran elite partai mulai runtuh. Sejumlah pengurus daerah bahkan dikabarkan tengah menyiapkan poros baru untuk mendesak digelarnya musyawarah luar biasa (Munaslub). Tujuannya satu: menyelamatkan Golkar dari krisis kepemimpinan sebelum pemilu mendatang.
“Bahlil dianggap titipan pihak tertentu yang membuat partai kehilangan arah dan makin sulit diterima publik,” ungkapnya.
Lebih jauh, Bahlil kini juga dicap sebagai simbol kekuatan lama yang disebut-sebut sebagai ‘Raja Jawa’, merujuk pada loyalitasnya terhadap Presiden ke-7 Joko Widodo. Sikap politik itu dinilai membahayakan posisi Golkar di pemerintahan saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
“Golkar harusnya mendukung penuh Presiden Prabowo, bukan justru melanjutkan pola lama yang menimbulkan konflik kepentingan,” ujar seorang kader golkar yang enggan disebutkan namanya.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya mengonfirmasi Bahlil Lahadalia maupun jajaran DPP Partai Golkar terkait isu lengsernya Bahlil dan dinamika tajam yang mengguncang partai beringin tersebut.



