Pengamat, Tragedi Masjid SMAN 72 Jakarta Bukti Program Pencegahan Ekstremisme Harus Jadi Prioritas

Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute.

Poros Demokrasi Jakarta – Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menilai ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11) yang melukai puluhan orang bukan sekadar insiden kriminal, tetapi tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang layak dipandang sebagai alarm dini kegagalan pencegahan di tingkat remaja.

Halili mengingatkan bahwa Indonesia sempat mencatat tiga tahun tanpa serangan teror, namun peristiwa di SMAN 72 membuktikan bahwa kesiapsiagaan tidak boleh kendor. “Ini peringatan keras bahwa ekstremisme kekerasan di usia dini masih besar dan nyata,” tegasnya.

SETARA Institute menyampaikan sejumlah poin penting: Arah Menguat ke Terorisme. Referensi terduga pelaku terhadap nama-nama pelaku teror internasional seperti Brenton Tarrant dan Alexandre Bissonnette, serta temuan narasi “Welcome to Hell” pada senapan mainan, memperkuat dugaan bahwa peristiwa ini sudah berada pada spektrum terorisme, bukan kenakalan remaja.

Kolaborasi Nasional Mendesak. Arus informasi yang tak terbendung dan teknologi yang makin canggih membuat pencegahan ekstremisme semakin kompleks. SETARA menekankan perlunya penguatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman secara masif, terutama di kalangan generasi muda.

Kritis dan Menerima Perbedaan. Anak-anak dan remaja harus dibekali kemampuan berpikir kritis dan kemampuan menerima keberagaman sejak dini. Perbedaan keyakinan, simbol, atau praktik sosial tidak boleh dijadikan dasar untuk merusak atau meniadakan yang lain.

Data Riset Mengkhawatirkan. Survei SETARA (2023) menunjukkan 24,2 persen remaja berada dalam kategori intoleran pasif, 5 persen intoleran aktif, dan 0,6 persen terpapar ekstremisme. Angka intoleran aktif meningkat signifikan dibanding 2016, dari 2,4 persen menjadi 5 persen.

Program Pencegahan Melemah. SETARA menilai agenda pencegahan ekstremisme di era pemerintahan Prabowo Subianto belum efektif. Situasi “nol serangan teroris” beberapa tahun terakhir serta efisiensi anggaran membuat program prevensi cenderung melemah. Tragedi di SMAN 72 menjadi pengingat bahwa pencegahan harus kembali menjadi program prioritas nasional.

RAN-PE dan RAD-PE Harus Diaktifkan. Rencana Aksi Nasional maupun Rencana Aksi Daerah terkait pencegahan ekstremisme perlu dihidupkan kembali dan dioptimalkan. Seluruh aktor negara dan masyarakat harus bergerak bersama melalui kolaborasi kepemimpinan politik, birokratik, dan kemasyarakatan.

Akar Masalah: Bullying Tak Boleh Dianggap Remeh. Fakta bahwa terduga pelaku adalah korban perundungan berulang di sekolah harus menjadi perhatian serius. SETARA menekankan bahwa bullying bukan hanya melukai korban, tetapi bisa menyeret mereka ke perilaku ekstrem, termasuk balas dendam dan ekstremisme kekerasan.

SETARA menegaskan kembali bahwa tragedi ini harus menjadi momentum koreksi nasional. Pencegahan ekstremisme tidak boleh reaktif, tidak boleh musiman, dan tidak boleh dikesampingkan hanya karena situasi terlihat aman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *