Poros Demokrasi Jakarta — Di sebuah rumah sakit yang namanya identik dengan ibadah suci, 19 mantan karyawan justru merasakan pengalaman yang jauh dari kata “berkah”.
Lihatlah, mereka sudah tua, sudah pensiun, sudah menerima SK resmi, tapi pesangon dan hak pensiun mereka lebih sulit ditemukan daripada dokter spesialis saat libur panjang.
Nama RS Haji Pondok Gede kini ramai dibicarakan bukan karena pelayanan kesehatan, tetapi karena diduga gagal membayar hak-hak 19 karyawan yang sudah berjasa puluhan tahun. Bukan kelalaian biasa. Ini lebih mirip “plot twist”: SK pensiun ada, tanda tangan ada, nominal ada, tapi uangnya… tidak ikut terbit.
Parwati, perawat yang mengabdi sejak tahun 2000, menerima SK pensiun pada 8 November. Ia mengira ini penanda babak baru hidupnya—lebih santai, lebih tenang, menikmati masa pensiun.
Nyatanya, yang tenang hanya manajemen rumah sakit.
“Saya diberi SK, tapi uangnya tidak ada. Katanya direktur ganti. Apa kalau ganti direktur, uangnya ikut ganti pemilik?” ujarnya, dengan raut wajah campuran lelah dan pasrah.
Lebih menyedihkan lagi, teman-temannya yang PHK tahun 2022 justru menerima pesangon ratusan juta.
“Yang di-PHK dapat sekitaran Rp160 juta. Kami yang pensiun malah kosong. Jadi sebenarnya yang dihargai itu yang dipecat, bukan yang setia bekerja?” katanya satir.
Saat para pensiunan meminta klarifikasi ke SDM, mereka seperti masuk escape room tanpa pintu keluar. Ke SDM, jawabannya, bukan kami. Ke bagian keuangan, nanti kami hubungi. Ditunggu, tidak ada telepon. Balik lagi, petugasnya mendadak tidak ada di tempat. Seolah seluruh manajemen sedang memainkan drama komedi: “Hindari Pensiunan Challenge 2025”.
Kuasa hukum para pensiunan itu, Prof. Dr. H.M. Murtiman, menegaskan bahwa apa yang dilakukan RS Haji adalah pelanggaran serius. “Kalau SK sudah keluar, hak finansial wajib dibayarkan. Itu aturan paling dasar. Tidak boleh diperlakukan seolah-olah pesangon itu bisa dicicil setelah hari kiamat,” ujarnya pada awak media, Senin (17/11/2025).
Ia menyebut bahwa kasus ini tampak seperti manajemen pura-pura lupa. “Ini bukan soal tak mampu, ini soal tak mau. SK ada, data ada, tapi tanggung jawab hilang,” tandasnya
Pemanggilan mediasi oleh Dinas Tenaga Kerja sudah tiga kali. Dan tiga kali pula pihak RS menghadirkan ketiadaan. Saking seringnya absen, mediator sudah hafal: “RS Haji? Oh iya, yang tidak pernah hadir itu.”
Jika masih tidak datang, mediator akan mengeluarkan Surat Anjuran, langkah sebelum gugatan resmi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
“Kalau tetap tidak datang, ya kami gugat. Masa negara harus memaksa rumah sakit agama untuk membayar pesangon?” kata Prof. Murtiman.
Hingga berita ini ditulis, manajemen RS Haji tidak memberikan konfirmasi, tidak klarifikasi, tidak permintaan maaf, tidak solusi, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda merasa bertanggung jawab. Publik pun bertanya: di mana letak uang para pensiunan itu? Sedang di-blockchain? Nongol di metaverse? Atau tersangkut di ruang rapat yang tidak pernah dipakai?
Para pensiunan hanya meminta hak dasar: pesangon sesuai SK, penjelasan resmi, surat paklaring, dan perlakuan manusiawi. Tuntutan sederhana, tetapi tampaknya terlalu mewah bagi manajemen saat ini.
Kasus ini menunjukkan bagaimana birokrasi bisa berubah menjadi sistem yang alergi tanggung jawab, terutama ketika berurusan dengan orang-orang yang sudah tidak lagi membawa keuntungan di atas kertas. Di negara yang suka bicara moral dan kemanusiaan, justru 19 pensiunan rumah sakit agama harus memperjuangkan hak sendiri seperti sedang ikut audisi pencarian bakat.
Sampai manajemen RS Haji muncul dan memberi penjelasan menyeluruh, publik hanya bisa menyimpulkan: yang sakit bukan hanya pasien, tapi juga sistemnya.



