Poros Demokrasi Jakarta – Kepala BPJPH, Haikal Hassan menegaskan, Halal itu sekarang sudah merupakan lifestyle. Apa iya sudah seperti itu?
Di sebuah studio – yang belum ketahuan sudah tersertifikasi halal atau belum – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kembali membuat pengumuman besar: ekosistem halal nasional akan diperkuat melalui empat pilar utama. Empat pilar – yang kalau dibayangkan – mungkin lebih kokoh daripada pilar rumah tangga sebagian pejabat negeri.
Kepala BPJPH, Haikal Hassan atau “Babeh Haikal” bagi para penggemarnya—menyampaikan hal ini dalam acara panjang – terutama lema karena menunggu – berjudul Sertifikasi Halal untuk Kemandirian Ekonomi: Kontribusi BPJPH dalam Mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Judulnya panjang, tapi intinya sederhana: halal harus maju, titik.
Haikal memulai dengan pilar pertama: revisi regulasi. “Regulasi Undang-Undang 33-2014 wajib kita ubah,” ujarnya. Dengan nada mantap, seolah-olah mengubah undang-undang hanyalah perkara mengganti baterai remote televisi.
Ingat, beberapa usulan sudah dikirim ke DPR Komisi VIII, dan seperti biasa, publik tinggal menunggu—lebih tepatnya menunggu lama.
Pilar kedua adalah kolaborasi. BPJPH siap bekerja sama dengan sembilan kementerian, tiga lembaga non-kementerian, ormas, hingga kepolisian. Sebuah kolaborasi lintas-segala yang, kalau berjalan mulus, mungkin akan jadi keajaiban kedua setelah terbitnya sertifikat halal untuk produk impor yang tidak pernah kita lihat labelnya di pasar.
Pilar ketiga: sosialisasi.
“Halal itu lifestyle, halal itu modern civilization,” kata Haikal, dengan yakin bahwa gaya hidup modern memang harus dimulai dari sertifikasi, bukan dari pengurangan kemacetan atau harga bawang yang masuk akal.
Ia juga mengingatkan bahwa Cina, Brasil, dan Amerika adalah produsen halal terbesar dunia. Sebuah fakta yang sering membuat rakyat bertanya-tanya: apakah kita sedang mengejar ketertinggalan, atau justru sedang sibuk membuat slogan baru?
Dan akhirnya, pilar keempat: digitalisasi.
“Tanpa digitalisasi, tanpa AI, kita nggak akan bisa berkembang,” tegasnya.
Memang, di zaman modern ini, tak ada yang lebih sakral daripada dua kata itu: digital dan AI. Bahkan bila UMKM masih kebingungan upload foto produk, tetap saja AI dipanggil—seolah-olah kecerdasan buatan bisa langsung menyulap antrean sertifikasi menjadi lima menit saja.
KSP Ikut Menambal Lubang, Sambil Menemukan Lubang Baru
Kepala Staf Kepresidenan, Muhammad Qodari, hadir untuk menegaskan dua hal. Yang pertama: UMKM banyak yang salah paham.
“Mereka mengaitkan sertifikasi halal dengan Amdal,” kata Qodari. Sebuah fenomena unik yang menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia sudah mencapai tingkat kerumitan di mana masyarakat tak lagi yakin peraturan mana yang akan jatuh ke kepala mereka berikutnya.
Ia pun berjanji akan mempertemukan BPJPH, KSP, Kementerian Pertanian, dan Perdagangan untuk membahas hal ini—karena tak ada masalah di Indonesia yang tidak butuh rapat lanjutan.
Poin kedua: sertifikasi halal adalah tiket emas ke pasar global. Qodari setuju, dan langsung mendukung ide kawasan industri halal.
Sebuah proyek besar, yang mudah-mudahan tidak berakhir seperti kawasan industri sebelumnya: ramai di peresmian, sepi dalam kenyataan.
“Ini momentum,” ujar Qodari.
Benar—momentum yang sering datang, tapi entah mengapa selalu sibuk mencari pintu keluar.
Pada akhirnya, pertemuan itu melahirkan optimisme. Optimisme yang rapi, yang disampaikan dalam kalimat-kalimat tegas, yang tentu saja akan membutuhkan perjuangan panjang dan dokumen-dokumen tebal untuk menjadi kenyataan. Namun setidaknya, di panggung hari itu, halal kembali digambarkan sebagai masa depan—meski UMKM masih berjuang memahami mana yang harus diisi dulu: formulir, persyaratan, atau daya tahan sabar.



