Poros Demokrasi Jakarta — Ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Jumat (28/11/2025), kembali menjadi panggung drama hukum yang tak kalah rumit dari sinetron prime time. Agenda hari itu: pembacaan eksepsi dari terdakwa Nurhadi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi No. 126/Pid.Sus-TPK/2025.
Tim kuasa hukum yang dipimpin Dr. Maqdir Ismail tampil seperti tim teknis yang sedang membongkar mesin dakwaan. Menurut mereka, ada baut yang kendor, angka yang loncat, dan definisi yang mengambang—singkatnya, mesin dakwaan berpotensi mogok sebelum sampai ke garis finis.
“Dalam satu dokumen disebut 300 miliar, di tempat lain 170 miliar. Ini persidangan tindak pidana korupsi, bukan kuis ‘Tebak Angka Berhadiah’,” ujar Maqdir usai sidang, dengan nada yang separuh legal, separuh lirih menggugat nasib.
Ia menegaskan, dakwaan bukan ruang bebas membuat narasi “asal masuk akal”. Harus ada perbuatan yang jelas, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum—bukan sekadar plot twist untuk memperpanjang episode.
Lebih jauh, ia menyoroti langkah KPK yang memisahkan perkara suap dan gratifikasi dari kasus sebelumnya, kemudian menambahkan dakwaan TPPU. Bagi tim pembela, ini seperti menegur terdakwa dua kali atas satu kesalahan, lalu ditambah satu lagi supaya lengkap.
“Proses hukum itu untuk mencari keadilan, bukan membuat orang jatuh berkali-kali,” tegasnya.
Standar Ganda: Menantu, Jet Pribadi, dan Logika yang Tersesat
Eksepsi setebal puluhan halaman itu juga menyentil isu yang lebih besar: konsistensi penegakan hukum. Tim pembela mempertanyakan asumsi bahwa setiap penerimaan uang oleh Rezky Herbiyono, menantu Nurhadi, otomatis dikaitkan dengan jabatan mertuanya.
“Kalau menantu tidak boleh punya bisnis tanpa dicurigai, apakah KPK hendak mengatur ulang kultur keluarga Indonesia secara nasional?” tulis mereka dalam dokumen eksepsi.
Perbandingan pun muncul: kasus Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang sempat menerima fasilitas jet pribadi. KPK saat itu menyatakan tidak berwenang memeriksa karena Kaesang bukan penyelenggara negara—dan belum ada bukti hubungan fasilitas tersebut dengan jabatan ayahnya.
“Jika fasilitas jet pribadi Kaesang tidak dikaitkan dengan jabatan Presiden, mengapa setiap rupiah yang diterima Rezky harus dikaitkan dengan Nurhadi?” tanya tim pembela.
Logika yang tak simetris, menurut mereka, dapat berujung pada simpulan yang tak hanya keliru, tapi juga absurd: bahwa setiap menantu pejabat otomatis berada di bawah bayang-bayang jabatan mertua. Bila demikian, mungkin di masa depan KPK perlu membuka unit baru: Direktorat Penyelidikan Mantan Pacar dan Calon Besan.
Taruhan Besar bagi Masa Depan Penegakan Hukum
Tim penasihat hukum memperingatkan bahwa penerapan standar ganda dapat menodai prinsip keadilan dan menimbulkan preseden berbahaya. Jika perbedaan perlakuan ini dibiarkan, hukum akan tampak seperti kaca spion bengkok: memantulkan realitas, tapi tidak jelas bentuknya.
“Apabila Majelis Hakim mengabaikan fakta ini, preseden bagi peradaban hukum kita bisa runtuh,” tegas mereka.
Persidangan dilanjutkan Senin, 8 Desember 2025, dengan agenda mendengarkan tanggapan jaksa atas eksepsi.
Sementara itu, publik kembali duduk di tribun penonton kehidupan hukum Indonesia, menunggu apakah majelis hakim akan menata ulang benang kusut perkara ini, atau justru membiarkan perjalanan Nurhadi kembali tersesat dalam labirin proses peradilan yang panjang—dan kadang terasa seperti dibangun tanpa denah. (Stn)



